Selasa, 31 Maret 2009

Tentara Semut

Cerpen Deddy Arsya (Padang Ekspres, 18 Mei 2008)

Marzuki awalnya tersebut sebagai seorang penabuh dulang. Jika ada perhelatan perkawinan di kampung kami, ia akan diundang menyanyikan kisah-kisah para rasul sampai pagi. Orang-rumah akan memberinya sedikit bayaran. Namun, jika tak ada lagi undangan menabuh dulang, ia akan mengerjakan sawah kaumnya seperti kebanyakan orang. Hidup dari sawah dan ladang.
Tetapi, ketika perang saudara itu menyalak, ia malah mendapat kepercayaan sebagai tukang antar-jemput peluru. Semacam kurir-lah begitu.
Jika suara bedil terus terdengar dalam dua jam kira-kira, dapat dikatakan, setelahnya, Marzuki akan sibuk bolak-balik memasok butiran-butiran peluru kepada front yang sedang bertempur. Ia yang kuat, bidang bahunya yang lebar menonjol, dan pangkal lengannya yang besar-padat, akan dengan leluasa menuruni lembah-lembah, mendaki bukit-bukit, dengan ransel-ransel penuh peluru di bahu.
“Jika aku berada di pihak si Marzuki, aku akan menanggalkan pekerjaan itu,” kata ayahku dahulu ketika menceritakan kisah ini kepada kami. “Dapatkah kau bertahan membayangkan dirimu adalah seorang yang ditugaskan membawa peluru ke mana-mana, tapi tak pernah diberi kesempatan memegang senjata, bahkan sepucuk bedil pun ‘haram’ untuk dapat kau letuskan?”
Kata ayahku melanjutkan, “ada masanya, dia tiba-tiba menelurkan pikirannya yang cerdas. Tapi kecerdasannya yang sebentar itu tak akan mengalahkan kepandirannya yang berkelanjutan.”
***
Aku ceritakan begini. Mungkin saja yang kuceritakan ini tak sama persis seperti yang pernah diceritakan ayahku kepada kami dulu. Beberapa bulan lamanya Marzuki keluar-masuk rimba bersama tentara pemberontak. (Seingatku, ayah kami tidak menyebut kata pemberontak, tetapi aku tak tahu apa kata yang tepat untuk menyebut orang-orang yang melawan itu?) Ia menghadapi pertempuran-pertempuran sengit berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan. Tetapi, sekali lagi aku katakan, ia tak sekali pun diberi kepercayaan meletuskan senjata. Maka entah apa muasalnya hingga terpikir oleh otak pandirnya itu untuk membuat bedil sendiri.
Agar peluru (yang diletakkannya pada bagian tengah bambu yang telah dia lubangi sedemikian rupa) dapat meletus, maka ia meregang ban dalam sepeda ontel (yang entah di mana ia dapatkan). Pada salah satu ujung ban dalam itu telah diikatkan sebatang paku. Ujung lain ban dalam sepeda ontel itu diikatkannya pada pelatuk kawat bekas jerat babi. Begitu pelatuk itu ditekan, ban dalam sepeda ontel yang regang itu akan lepas. Kepala paku yang diikatkan di ujung lainnya akan mengenai bokong peluru. Begitu bokong peluru dihantam dengan keras oleh kepala paku. Maka dapat diperkirakan, peluru itu pun akan meletus. Ujung peluru yang tajam itu akan terbang menuju sasarannya.
Begitu bedil buatannya selesai, ia mencobakan sendiri hasil kerjanya. Seperti yang diperkirakan semula, seketika pelatuknya ditekan, ban dalam sepeda ontel yang meregang akan lepas, kepala paku akan menghantam bokong peluru. Peluru itu pun meletus! Ujung peluru yang tajam itu pun terbang melesat!
Tetapi ada yang dilupakan Marzuki tampaknya. Bahwa dengan melupakan hal yang satu ini dia kemudian tetap dikenang sebagai si pandir.
Ia lupa untuk membuat lubang tempat keluar selongsong peluru!
Begitu pelatuk ditekan, dan peluru berhasil meletus, bedil dari bambu itu rengkah karena hantaman selonsong peluru yang tak mendapat jalan keluar. Dan sembilu tajam hasil pecahan bedil buatannya itu membelah perut Marzuki sepanjang jangkar. Dari belahan itu, keluar menjuntai usus merah mudanya. Orang-orang yang menyaksikan kisah ini akan berkata sambil tertawa terbahak-bahak,
“Eee, Pandir!”
Si pandir Marzuki, semoga ruhnya tenang di alam sana, ternyata tak mati. Sempat dia tertawa kecil mengenang usahanya yang sia-sia sebelum akhirnya dia roboh ke tanah bersimbah darah. Namun, setelah kesembuhannya yang tak lama, dia kembali ditugaskan menjadi tukang antar-jemput peluru. Semacam kurir-lah begitu. Bagi teman-temannya sesama tentara rimba, yang sama-sama pernah menjalani latihan baris-berbaris di tanah lapang di kampug kami beberapa waktu sebelum perang saudara itu meletus, yang telah diberi hak memegang senjata.
Ada terbersit keinginan di hati mereka untuk mempercayakan sepucuk senapan kepada si Marzuki. Mungkin karena iba, atau entah karena apa. Mereka juga menginginkan si Marzuki ikut maju ke front. Namun, menurut komandan mereka yang berasal dari Darek sana, karena membayangkan kepandiran Marzuki sebelumnya, membuat niat baik itu urung terlaksana. Apalagi jika Marzuki ikut maju ke front, tidak ada lagi orang yang sepandir dirinya yang mau disuruh-suruh ke mana pun. Menjadi tukang antar-jemput peluru, atau sesekali ditugaskan menjemput beras kepada ibu-ibu ke pinggir kampung.
O, kurir yang pandir! Bukankah hanya si pandir yang bersedia menjadi kurir?
Demikianlah si pandir Marzuki tetap saja hanya menjadi tukang antar-jemput peluru. Semacam kurir-lah begitu. Padahal, nalurinya sebagai lelaki sudah gatal-gatal untuk turut mengokang senjata, menembak dan menjatuhkan musuh sekali tiga.
***
Sudah setahun lebih perang berkecamuk. Apalagi kemudian, sejak sebatalion TP (Tentara Pelajar) masuk dari Padang lewat Darek ke Pesisir itu, kecamuk peperangan dapat dikatakan tak lagi ada jedanya. Pertempuran semakin sengit di sana-sini. Dan Marzuki, tentu sudah tak memungkinkan lagi menjadi kurir. Sebab persedian peluru semakin menipis. Sebab semua pintu saluran peluru dari pihak asing telah ditutup Tentara Pusat. Maka setiap prajurit harus membawa pelurunya sendiri sebanyak mungkin. Dengan demikian, Marzuki akhirnya harus diberi senjata juga.
Hah, ada yang lega semestinya.
Karena kekuatan berlari dan napas Marzuki yang seakan-akan tak habis-habis, ia diberi kepercayaan memanggul sepucuk senapan mesin otomatis yang berat. Senapan itu mampu memuntahkan beratus-ratus butir peluru dalam sekian detik.
Marzuki yang bernapas kuda akan diperintahkan berlari dari satu titik ke titik yang telah ditentukan hanya sekedar untuk meletuskan senapan mesin otomatis yang dipercayakan kepadanya itu. Hanya untuk membuat tentara musuh takut, dan berpikir, bahwa lawan mereka mempunyai begitu banyak senapan mesin. Tentara musuh perlahan akan mundur karena gentar pada kelengkapan persenjataan lawan mereka.
Walaupun terdengar hebat olehmu Marzuki dalam berperang, tetap saja ia akan tersebut sebagai si pandir. Si Pandir yang pernah menjadi seorang kurir. Kurir peluru. Hingga kisah ini kuceritakan kepadamu, maka cobalah untuk sedikit berbesar-hati menghomatinya dengan sekali-kali menyebutnya “Marzuki yang cerdas dan berani!” Atau gelar apa pun yang tidak berkonotasi pandir-lah begitu.
***
Perang saudara itu usai. Tiga tahun lebih. Marzuki, yang sebelum perang meletus adalah seorang penabuh dulang, kini diminta kembali menyanyikan kisah para nabi pada setiap perhelatan perkawinan di kampung kami.
Sekali ia diundang walinagari yang baru saja diangkat. Ia diminta turut memeriahkan malam pengangkatan walinagari itu: Menabuh dulang dan menyanyikan kisah para nabi yang mendayu-dayu semalam suntuk.
Sejak saat itu, sampai beberapa waktu kemudian, Marzuki akan tercatat sebagai seorang cerdas yang mampu menyesuaikan diri dalam keadaan macam apa pun. Berguna benar pepatah ‘terkurung hendak di luar, terhimpit hendak di atas’ baginya. Teman-teman sesama bekas tentara rimba, dalam waktu tertentu, tak akan lagi berani mengingatnya sebagai si Pandir.
Begitu hebat dan penting posisinya ketika itu. Jika ada yang hendak bepergian ke suatu tempat, kepadanya orang itu akan mengadu. Agar Marzuki mau menolongnya memintakan surat izin bepergian kepada walinagari. Karena Marzuki berkawan dengan walinagari itu. Berkawan dekat, seperti ampu dan telunjuk.
Tersebutlah kemudian Marzuki sebagai pesuruh walinagari yang penolong dan murah hati. Semacam kurir-kah kalau begitu?
Tetapi di suatu malam, muasalnya si pandir tetap saja akan menjadi si pandir, yang pelupa, yang acap salah dalam bertindak. Jika pun ia tiba-tiba cerdas, kecerdasannya yang singkat itu tak akan mengalahkan kepandirannya yang berkelanjutan. Adalah Marzuki dijemput orang beramai-ramai. Namanya tertera di daftar panjang nama-nama yang dikirim Kodim ke kampung kami.
Orang-orang hanya akan bersorak:
“Eee, Pandir!” .

Dengan Sebelah Sayap Terpanggang

Deddy Arsya, mahasiswa jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Angkatan 2006, lahir Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 15 Desember 1987. Pernah memenangkan Sayembara Penulisan Puisi DKSB 2005 dan di tahun yang sama menjadi finalis Lomba Menulis Cerpen HAM yang diadakan Kedutaan Besar Swiss bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena. Tulisannya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di beberapa media, seperti Padang Ekspres, Singgalang, dan Haluan. Puisinya masuk dalam buku antologi puisi Dewan Kesenian Sumatra Barat Dua Episode Pacar Merah (2005). Di unggunan rinduku aku bakar pula sebelah sayapku dan berpikir untuk tidak terbang (dengan sebelah sayap terpanggang aku kira tak akan jauh sampai aku ke rumahmu).

berkehendak akanmu, semakin larut saja malam terasa
kuingat wajahmu dengan rindu yang dekil dan sedikit sesal

Aku tahu benar tak bisa apa-apa selain menanti
bercakap hari kemarin
dan waktu yang tak pernah bisa dijagal

di unggunan rinduku
Aku tak cukup ingatan mereka-reka jalan bagi penantian
Sebab sangsi, sebab sangsai, jenuhku melaju,
berapa lama kita berdaya begini
Cukup di penghabisan lelah yang kuragukan—aku masih ingin di sini
Bersamamu, barangkali kan bersitegang rindu sendiri
—dengan sebelah sayap terpanggang

Ilalangsenja, 2006

Deddy Arsya
sarkofagus

(satu)
menggali makam berdua
kusiapkan tubuh
dan pergi menjadi puisi
dan kau membacakannya
dengan suara setengah takut

orang-orang bertukar redup di jalan-jalan
siapa menenggelamkan gelap kian malam
aku duduk menunggumu
masih sendiri dan gagu
ajaklah aku keluar satu; menujunya

di tahun-tahun licin
musim-musim tergelincir
lagu penyair terdengar ganjil
seperti riwayat hilang timbul dalam lupa
catatan kabur
gelap hari berguruh berkilat

menggali makam berdua
kusiapkan tubuh
dan pergi menjadi puisi
biar gaduh suara-suara
aku telah sedia luluh
ini hidup padamu bawalah kemana
dan nanti tak bersua lagi
aku tahun-tahun getir tergelincir
dan usia yang bergerak rapuh
tanah berpijak menjadi lagu riang
ketika pulang
dan terang mendiamimu selalu

(dua)
waktuku, aku ingin sendirian
dan berharap sejuk maut
mengusap lembut di dadaku cepat
jika lama, dekap aku
gagap cintaku, cemas-latah usiaku
di liang nyata mimpi kita
terimalah aku seperti sedia kala

jalan ke rumahmu masih ditimbun angin?
(hidup akan lama, katamu)
dekap mati aku sekuatmu
sampai mati lemas was-was dalam diri

(di mana ujung puisi)

(tiga)
menggali makam berdua
kusiapkan tubuh dan pergi menjadi puisi

(Mahasiswa Jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang)

Selasa, 24 Maret 2009

Esai Sastra Deddy Arsya

Iwan Fals, Hijau, dan 50:50
Di sini aku sendiri. Datanglah
Bukit yang dingin, bukit yang sepi
Tak akan membuatmu tersiksa

Iwan Fals bernyanyi di tahun 1992. Suaranya tak seberat sekarang. Suara itu, seperti seorang ibu dari dusun yang jauh dan sepi, suara seorang ibu dalam Mushasi-nya Eiji Yoshikawa, yang berteriak-teriak, "Pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di dusun!". Ketika itu, Takezo, si Mushasi muda, hendak meninggalkan dusunnya, demi perang, demi cita-cita menjadi Samurai, dan melakukakn sesuatu yang bakal mengesankan sang ayah yang juga seorang samurai. Ia yang sangat ingin membuktikan diri sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati, bukan hanya sebagai perisau dusun.

Iwan Fals bernyanyi di tahun 1992, dengan suara yang-tentu saja-tak merdu. Dan album Hijau dirilis. Tapi tak ditanggapi meriah. Album itu terbilang tak laku. Hijau. Entah kenapa, mungkin mengambil salah-satu judul lagu dalam album itu. Atau Hijau merupakan sesuatu yang terancam, yang dicemaskan keberadaan dan kelangsungannya.

Tahun-tahun itu, pembangunan pesat di satu sisi, industri maju dan semarak, kota-kota mekar dan gemerlap. Tapi kehancuran terus mengejar dan mengancam di lain pihak. Kita mengingat kawasan-kawasan industri yang lahir, galangan kapal, pabrik pesawat terbang, satelit palapa yang mengorbit ke angkasa, dan lainnya. Sekaligus kita tak bisa melupakan hutan yang habis, langit yang bocor, laut yang tercemar. Dan kita, (yang telah menjadi) si orangkota, yang juga bisa berarti manusia industri, diminta kembali. Tapi bisakah, sementara kata kembali adalah kata yang mengandung kalah dan gagal.

Barangkali sebuah masyarakat yang dibentuk oleh rezim yang menumpuk-numpuk kekayaan dan menghitung-hitungnya, selalu tak pernah mau menanam, selalu menyepelekan kearifan macam apa pun yang hendak diperoleh dari sebuah rangkaian usaha mencipta., dan selalu ingin memetik. Di sana, hasil hari ini menjadi segala-galanya. Ada yang lupa untuk dipikirkan ulang. Bahwa hukum kausalitas ada dan mutlak terjadi. Bahwa apa yang diperbuat hari ini, baik-buruknya, adalah tanggungan manusia yang akan datang. Ia tak cukup lepas hanya untuk hari ini, hari ketika itu.

Dan usaha menjadi masyarakat industri, juga usaha menjadi manusia yang serba otomatis-praktis, tetap digandrungi. Sebab kota-kota terus memoles diri, dengan plasa, dengan mall. Dan televisi yang telah sampai ke dusun-dusun yang sunyi dan dingin menawarkan sesuatu. Sesuatu yang dulu hanya dibawa dan tersebar lewat cerita para perantau di kedai-kedai kopi ketika waktu lebaran tiba. Gambaran yang menakjubkan sehingga membentuk janji, harapan, peruntungan, dan sebagainya.

Dan kini, Iwan Fals berbicara lagi tentang ‘yang hijau'. Sebuah album bertajuk 50:50 dirilis tahun ini. Tapi tidak terasa lagi kesunyian yang menggetar itu. Iwan kehilangan daya bercerita, juga daya gugah seorang penyampai seperti dalam album Hijau yang dirilis belasan tahun yang lalu itu. Mungkin suasananya berbeda. Ada yang terasa hambar dan melelahkan untuk disimak dalam duabelas lagu di album ini. Entah kenapa. Mungkin Iwan putus-asa. Mungkin kita yang lelah.

Namun perambah hutan tidak pernah lelah. Harimau ditembak, karena si raja rimba itu mengganggu manusia. Karena ia kehilangan mangsa. Kenapa? Apa karena kita suka berburu babi? Mungkin benar. Tapi babi punya regenerasi yang mudah, gampang beranak-pinak, sekali melahirkan bisa banyak anak. Kenyataannya, walaupun sudah banyak kelompok-kelompok buru babi, hama babi tetap merajalela. Sedangkan regenerasi harimau terbilang sulit. Apalagi harimau Sumatera. Lantas kenapa? Di lain daerah di Sumatara, gajah menyerang penduduk, masuk perkampungan, memporak-porandakan rumah dan ladang. Habitatnya mulai terancam dan terus terdesak.

Sementara itu hutan terus juga ditebang, banjir bagai terjadwal di kalender. Dan bumi yang bocor hingga ke perutnya, menyemburkan lumpur panas yang tak mampu disumbat. Kota-kota terus merembes masuk ke daerah-daerah serapan air, bersolek dengan plasa-plasa baru dan mall, dengan beragam industri baru, cerobong-cerobong pabrik dan racun-tuba yang diarahkan ke langit tinggi.

Jika Tan Malaka dalam Madilog bersikeras bahwa hanya dengan industri kita bisa maju, mengingat Indonesia kaya dengan barang tambang, maka Iwan Fals lewat kumpulan lagu berlabel 50:50-setidak-tidaknya dari label itu-menawarkan keseimbangan, jalan tengah antara boros dan kikir, antara malas menggali dan rakus. Antara memajukan industri dan tetap menjaga kelangsungan alamraya. Jika alam terkembang jadikan guru. Maka membunuh guru adalah kejahatan paling tak terampuni.

Puncak kemajuan sebuah peradaban pada akhirnya adalah suatu kesadaran untuk kembali, ke akar-akar, ke mata air yang memancarkan kejernihan dan kesejukan. Ke tempat asal manusia yang kodrati: Alamraya. Suatu saat ada masanya, kesadaran tumbuh, bahwa alamraya, dengan segenap rahasia dan kearifannya, begitu menakjubkan kita. Kita akan merindukannya. Kelak. Entah kepan. Mungkin ketika kita telah kehilangannya begitu banyak. Bukankah kehilangan yang membuat sesuatu menjadi berarti?

Sajak Fernando (KOMPAS, Januari 2009)


Pelangi

Kenapa ingin kau sembunyikan warna itu
Ia tetap datang setelah bola-bola jernih
disepak ke bumi

Padang, Februari 2008

Doa

Mengeja nama kekasih
yang suatu saat
akan kita temui

Padang, 2008

Doa (II)

Terlentang diatas pusara
menanti ujung matahari menjilat
jiwa-jiwa sepi
menepi

Padang, 2008

Sarung

Ia masih menggantung di balik selimut, meraba-raba sinar mentari.
Sambil menari di atas ranjang merayu biduan malam,
yang merana dalam lelap,
meminta dia datang kembali.

Padang, 2008

Hujan

Budak-budakmu masih menangis
bersama sekumpulan sampah
dalam rumah kabut
putih
menggenang

Padang, 2008

Maria

Aku pernah bertemu dengan seorang seniman berkaki enam
ia melukis di hadapku
sambil berkata
”ini Maria, kekasih Tuhan
berakhir dalam satu santapan,
dimana esok tiada lagi, ”

Padang, 2008

Deskripsi Kesunyian

Bulan kuning, membelah langit biru lautku
Di hamparan mata yang masih berkaca,
mencaci matahari yang kelihatan sama
di saat malam

Tembok itu, menyulam mulutku,
sembunyikan pagi dibalik kasur
yang kian ragu,
biar redup
langit biru lautku

keheningan iringi kata ini
bersama dia kataku,
mengelinding di bawah kasur katamu,
dia mencumbu suara,
kata kita sama

Padang, 26/12/08

Kepada Celana
: Joko Pinurbo

aku tahu cuma punya satu
yaitu hitam usang abu-abu
minta ijin pinjam punyamu
yang terkenal dan berwarna biru

Padang, jan 3, 08

Satu Tembang Puisi

matahari menuju selatan mengantar
seorang penyair dengan tangan terluka
ia tak tahu hendak kemana
hanya lusuh hibur tawa
terpatri di wajahnya
yang kian ceria
tanpa basa basi ia berkata
"aku hendak melagukan
satu tembang puisi
puisi kisah elang
ia berlengan kekar
bertengger di kiriku
terjebak di balik semak
hitam dengan sungai
darah mengalir di bawahnya,"

Setelah usai bernyanyi
ia berkata lagi
"puisi kura-kura mandi
kunyanyikan nanti
kukira kita semua tuli
aku harus pergi
kapan-kapan jumpa lagi,"

Padang, Jan 6, 08

Fernando, saat ini masih kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, angkatan 2006, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol Padang. Dari dulu sampai sekarang bergiat di sanggar sastra Pelangi. Menulis puisi dan sudah dimuat di koran daerah seperti Singgalang dan Padang Ekspres. Selain itu saat ini sedang magang di kantor berita Padangmedia.com.

(Terbit di rubrik OASE, kompas.com, 17 Januari 2009)

The Education of Human


Everything that has happen

It just for dwelling

Break break it’s necessary

How do you solve it

Like me now I don’t know

How but stay to enjoy

Make everything he said

I am in tense

(*) Mahasiswa BSI Fakultas Adab Angkatan '06

Puisi "Ustad" Alexander (*)


Amakku

mak...
hari ini tanganmu mulai bergerak-gerak
aku tau...
saat engkau memberi tahuku, engkau mau menangis
tangis bahagia.
mak...
cepat sembuh ya...
nanti kalau aku pulang,
mak akanku pijitin lagi.
mak jangan menangis lagi...
nanti kalau mak sudah sembuh benar
kita akan pergi jalan-jalan.

Rose yang tak pernah pulang lagi

Rose, bayang-bayang nan tak pernah gembira
Mengikuti tubuh tersenyum
Lengang dingin membakar luka menganga
Di antara sobekan baju lusuh dan usang
Di sana juga tertimang anak bertangan satu
Hingga tak enggan tangan-tangan mengulur angka dan senyuman
Ah, perjalanan itu kenangan melambai
Rose, Lama tak terdengar kabar tentangmu
Berteriaklah pada udara
Hingga samar angin akan menghantar rindumu
Untukku yang termangu di teras rumah sunyi

(*) Mahasiswa BSI Fakultas Adab IAIn Imam Bonjol Angkatan '06

CERPEN : "TAS BERLAMPU"

Cerpen : Dewi Kulamasutra
(Mahasiswa BSI Fak. Adab IAIN Imam Bonjol Padang/telah dipublikasikan di Harian Umum PADANG EKSPRES, September 2008)


Pagi, setelah orang-orang balik dari surau. Amak melewati pematangan sawah. Penuh kehati-hatian Amak melangkah. Beban yang dibawa cukup berat. Satu karung bayam dijinjing di atas kepala. Kemaren Amak tersungkur. Kakinya terpuruk di tanah basah. Setelah berjalan sampai ke ujung, becak Pak Ci sudah menunggu di jalan. Amak menaruh beban di atas becak. Lalu Amak balik lagi melewati pematang, menjemput beberapa karung sayur yang masih tertinggal di pondoknya. Sedangkan Pak Ci tetap menunggu di jalan. Karung terakhir diangkat Amak. Kali ini ia tidak sendiri. Anak laki-lakinya berseragam merah putih mengiringi di belakang. Namanya Deri, karena susah menyebut huruf R waktu kecil, ia pun dipanggil Del.
Amak duduk dan Del berdiri sambil memegang pundak Amak di atas becak. Pak Ci mengayuh sepeda dengan santai. Burung-burung pagi berkicau. Berterbangan dimana-mana.
“Mak, burung-burung tuh kok cepat bangunnya Mak?” Tanya Del.
“Karena mereka juga sama seperti kita, Nak. Bangun pagi-pagi, mencari makan untuk hidup.”
“Untuk sekolah kau, Del!” Pak Ci menimpali.
Amak bersyukur, Del anak satu-satunya bisa diterima di SD negeri. Kalau sampai seperti Budi anak tetangganya yang PNS itu, lantaran tak diterima di SD negeri, ia pun disekolahkan di SD swasta. Tentulah biayanya mahal. Amak cukup tegar membesarkan Del. Susah ia mendapatkan anak. Akhirnya Tuhan mengkaruniakannya juga. Meski dua tahun setelah Del lahir, suaminya meninggal karena mengidap penyakit gula.
“Tit tit tit tit…!” Suara klakson mobil, bus kota, angkot, motor, meriuhkan suasana di pasar Mambo. Belum lagi suara kusir bendi yang sedang bercakap dengan kudanya, lonceng sepeda, becak, dan…”ting ting ting…!” Gerobak kacang padi pagi tak mau kalah dengan lainnya.
Pak Ci membantu Amak menurunkan beban, dan menjinjingnya hingga sampai ke tempat Amak biasa berjualan. Jika semua sudah selesai, Amak mencari buntelan tempat menyimpan uang dari dalam kain sarung yang ia pakai. Buntelan itu berwarna putih, tampak kusam, dan berpeniti di tengahnya.
“Nih, makasih Pak Ci!” Amak memberikan satu helai lima ribuan dan empat koin lima ratusan.
“Ya, sama-sama!” Pak Ci mengambil uang itu, dan ia pun berlalu. Amak mengeluarkan sayur-sayur dari dalam karung. Sayur-sayur itu juga dibelinya dari orang yang berladang. Ada bayam dan kangkung. Lalu Amak menyusun rapi, dan memercikkan sedikit demi sedikit air di atas tumpukan sayur yang sudah rapi.
“Del, nih belanja kau!” Amak memberi Del dua helai ribuan.
“Makasih Mak, Assalamu’alaikum!” Del memasukkan uang dalam saku bajunya dan menciumi tangan Amak.
“Waalaikumussalam! Hati-hati kau menyebrang jalan, dan kau jangan bandel di sekolah.”
“Ya, Mak!” Del langsung berlari.
“Heh…jangan lari, nanti kau jatuh!” Mak berharap suaranya sampai pada Del.
“Amak, Amak!” Del balik lagi ke tempat Amak.
“Hah, kenapa kau balik?”
“Tas Del putus, Mak!” Del tampak cemas.
“Kan, tadi Amak bilang jangan berlari. Tas kau nih sudah hampir putus. Amak belum punya uang belikan kau tas baru.” Amak mengambil peniti buntelannya lalu memasangkan peniti itu di Tas Del.
Del terdiam.
“Dah, hati-hati memakainya! Cepat nanti kau terlambat upacara!”
Sebetulnya tas yang dipakai Del, sudah layak untuk dimuseumkan. Waktu ia TK, tetangganya PNS Itu, memberikan tas yang tak terpakai lagi oleh anaknya pada Del. Ketika itu, tas itu masih kelihatan bagus. Tapi, sekarang jahitannya sudah banyak yang putus. Terpaksa Amak menjahitnya dengan tangan. Tahun ajaran baru tentu banyak murid-murid berpakaian serba baru. Mulai dari seragam, sepatu, tas, buku. Mungkin hanya Del yang tidak pakai tas baru, sepatu baru, dan seragam baru. Karena lagi-lagi Amak beli baju seragam di lowakan. Kecuali buku, Amak berusaha membelikan Del buku tulis dan buku pelajarannya. Karena Amak juga ingin Del bisa belajar di rumah dengan buku-bukunya itu. Di bawah tenda payung tempat Amak berjualan, Amak juga berharap suatu saat nanti Del terhitung dalam barisan anak-anak sukses. Yah! Hanya itu harapannya sebagai seorang ibu.
***
“Mak, tas berlampu Mak! Tas berlampu, tas berlampu!” Malam ini Del menggigau lagi.
“Del, Del! Bangun, Nak! Kenapa kau menggigau terus!”
“Amak, Del mau tas berlampu seperti Rio. Beliin Del, Mak! Beliin Del tas baru, tas yang berlampu, ya Mak! Tas yang berlampu.” Del merengek.
Amak menatap Del penuh hiba.
“Besok, kalau kau juara Amak belikan!”
“Yang berlampu, Mak?” Del memastikan.
“Iya, yang berlampu!”
Amak kini merasakan, banyak perubahan dari Del. Anaknya itu semakin hari semakin rajin saja belajar. Nilai latihan dan ulangan di sekolah pun bagus. Sepertinya Del benar-benar termotivasi dengan janji Amaknya, yang bakal membelikan Del tas berlampu kalau juara. Tidak hanya itu Del rela menahan seleranya, ketika es cendol berdiri di gerbang sekolah. Ketika hari panas, dan kerongkongan kering, ketika teman-temannya antri membeli es cendol, ia hanya bisa menelan ludah. Karena kata Amak kalau ia mau beli tas berlampu harus hemat uang. Dan disisihkannyalah setiap hari uang belanjanya.
Siang, ketika Del pulang sekolah. Ia bergegas ke tempat Amaknya.
“Mak, Amak!” Lihat orang yang sedang beli ikan tuh Mak!”
“Kenapa?” Amak melihat seorang ibu dengan anaknya sebaya Del.
“Anak tuh teman Del Mak! Namanya Rio. Amak lihat kan tasnya?” Itu tas berlampu, Mak!”
Lama Amak menatap tas Rio dari kejauahan. Tas itu tampak berlampu. Bercahaya dari kejauhan. Berwarna hitam bergambar mobil di depannya. Di sekeliling mobil dihiasi lampu-lampu. Cukup unik kelihatannya. Jarang anak sekolah tampak memakai tas seperti itu. Lalu Amak berpikir tentulah harganya mahal.
Tanpa disengaja Ibu dan Rio singgah ke tempat Amak membeli sayur.
“Eh, ini ibunya Del?” Ibu Rio bertanya.
“Iya, Amaknya!” Kata Amak.
“Del, pandai di sekolah ya, Bu! Aktif tunjuk tangan kalau disuruh Bu gurunya menulis ke depan. Hitung-hitungan dia juga pintar. Nih, si Rio! Udah di temani ke sekolah, masih malas belajar!”
Amak hanya bisa balas dengan senyum.
“Berapa Bu, bayamnya?”
“Seribu lima ratus.”
“Makasih ya, Bu.”
“Sama-sama. Eh, Ibu! Saya mau nanya. Del minta dibelikan tas berlampu seperti Rio. Ibu belinya dimana ya?”
“Oh tas nih! Pamannya Rio beli di Jakarta. Tapi disini ada kok orang jual. Tuh di dekat Ramayana, kalau nggak salah seminggu lalu saya main kesana. Harganya seratus sembilan puluh sembilan ribu. Wah sama aja ya Bu, dua ratus ribu!”
“Dua ratus ribu?”
“Iya, dua ratus ribu.”
“O ya, makasih ya, Bu!’
“Ya! Pergi dulu Bu!”
Amak terdiam. Untuk beli tas saja dua ratus ribu. Dimana dicari uang sebanyak itu. Penghasilan satu harinya cukup untuk satu hari pula. Tapi Amak bertekad tetap akan membelikan Del tas berlampu, meski sekali pun Del tak juara, tentu Amak tetap ingin menyenangkan hati anaknya. Amak mulai mengumpulkan uangnya sedini mungkin.
***
“Amak…! Del juara! Del berlari ke tempat Amak.
“Krak! Krak!” Jahitan Del putus.
“Juara? Kau juara, Nak?” Amak memeluk Del, dicium anaknya. Lalu ia lihat nilai rapor Del penuh rasa haru.
“Kau anak Amak yang paling hebat! Hmm, angka sembilan aja yang banyak!”
“Mak, tas Del Mak, putus! Amak janji beliin Del tas berlampu kalau juara.”
Amak menarik napas. Di buntelannya belum cukup uang untuk membeli tas.
“Ya, hari terakhir kau libur Amak belikan, ya?”
“Hore! Janji ya, Mak?”
“Iya!”
Besok Del sudah mulai sekolah lagi. Hari ini adalah hari liburannya terakhir.
“Alhamdulillah, cukup!” Amak bertekad hari ini akan membawa Del beli tas berlampu itu.
“Uni!” Mimi yang tiap hari berjualan terung di samping Amak, datang menghampiri Amak. Wajahnya sendu.
“Eh, Mi! Tumben kau nggak berjualan hari ini!”
“Si Tika sakit, Ni! Mi nggak punya uang bawa dia berobat. Bibirnya pucat panasnya tinggi. Saya bisa pinjam uang Uni Delapan puluh ribu, Ni? Sepuluh hari lagi Mimi ganti. Mi nggak tau mau pinjam sama siapa lagi Ni.”
Amak termenung. Terbayang wajah Del gembira mendapatkan tas berlampunya, disisi lain terbayang wajah Tika kecil berusia sepuluh bulan sedang lemas di kasur kecilnya. Bagaimana pun disaat sepi pembeli, Amak sering bermain dengan Tika. Tika kecil yang selalu bikin Amak tertawa. Tiap hari Mimi membawa Tika ke pasar. Akhirnya diputuskan juga, Amak rela meminjamkan uang pada Mimi.
Del berangkat sekolah dengan wajah murung. Amak sudah menjahit tasnya.
“Sepuluh hari lagi, ya Nak. Kita beli tas berlampunya. Pasti, pasti Amak belikan.”
Hari kesepuluh. Mimi belum kunjung berjualan. Amak sudah tak tahan melihat wajah murung Del. Tapi uang di buntelannya masih tidak cukup. Kemaren pengeluaran juga bertambah. Del harus beli buku pelajaran baru.
“Dua minggu lagi, Amak belikan ya, Nak! InsyaAllah uang Amak cukup. Del jangan khawatir, tas berlampu tuh, nggak bakal habis di toko.”
“Amak janji-janji terus!” Del menampakkan wajah masamnya.
“Iya, besok pasti! Pasti, Nak!”
“Benar? Amak nggak bohong lagi kan?
“Nggak! Pasi kata Amak!”
Del mulai tersenyum.
***
“Bayamnya tujuh ikat, berapa Bu?” Seorang wanita berusia tiga puluhan, berkaca mata reben, make up tebal, memakai rok jeans pendek dan berkaos merah, tiba-tiba datang membeli sayur Amak sebanyak tujuh ikat. Bagi Amak cukup banyak.
“Sepuluh ribu lima ratus, Bu!”
“Nih!” Dia mengeluarkan sehelai seratus ribuan.
“Wah, uangnya besar sekali nggak ada uang kecil Bu? Saya baru buka.”
“Duh, nggak ada Nih!”
“Sebentar ya , Bu! Saya tukar dulu.” Amak bergegas ke kedai-kedai yang baru buka.
“Hari masih pagi! Mana ada tukar uang besar!” Begitulah kata orang-orang di kedai.
Amak balik lagi ke tempatnya.
“Bu, kembaliannya uang receh dan ribuan, nggak apa-apa? Nggak ada tukar uang?”
“Ya, nggak apa-apa!”
Amak menghitung uang receh, koin lima ratusan dan ribuan yang sudah dihitung sepuluh ribu masing-masingnya.
“Nih, kembaliannya delapan puluh sembilan ribu lima ratus. Makasih, ya Bu.”
“Sama-sama!”
Ini adalah hari yang dijanjikan Amak. Uang dalam buntelannya sudah cukup untuk membeli tas berlampu. Sore, sesudah tutup jualan, Amak dan Del berjalan menuju toko. Del tampak sangat riang. Pegawai toko seperti was-was saja dengan kedatangan Amak dan Del. Entah karena penampilan mereka yang berbeda dari pengunjung lainnya.
“Mak tuh, tas berlampu!” Tas itu tampak tinggal satu.
“Cobalah pakai!” kata Amak.
“Bagus, Mak?” Del mencoba menyandangnya.
“Ya, bagus! Kau gagah memakainya!”
“Tas nih, berapa harganya?”
“Dua ratus ribu kurang seribu, Bu!” Pegawai itu mengantar Amak ke tempat pembayaran.
Amak mengeluarkan sehelai seratus ribuan, dan selebihnya uang ribuan.
“Nggak, nggak usah dibungkus, Tante! Del mau pakai langsung!” kata Del pada pegawai toko.
“O ya, nih!”
Amak lega janjinya pada Del sudah terbayar,. Del pun tampak sangat gembira. Baru beberapa langkah mereka keluar dari toko…
“Ibu…! Ibu…!” Terdengar suara pegawai toko. Dia mengejar Amak.
“Kenapa?”
“Maaf, Ibu! Uang seratus ribu Ibu ini palsu!” Sambil memperlihatkan uang itu.
“Palsu?” Amak terperangah.
“Iya, Bu! Palsu!”
“Ta..tapi, saya nggak punya uang lagi!”
“Kalau begitu, kembalikan saja tasnya! Kalau udah punya uang, Ibu kesini lagi!”
“Del, buka tasnya Nak!” Amak meminta dengan suara lemah.
“Nggak, nggak mau!” Del mengelak-elakan tubuhnya dari tangan Amak.
“Besok kita beli!”
“Del, nggak mau! Nggak mau Mak! Ini tas berlampu Del!”
Amak memaksa Del. Tas itu pun terlepas dari sandangan Del. Pegawai itu membawa tas berlampu ke tokonya.
“Hu…a…, Amak jahat! Amak jahat!” Del duduk di tretoar. Lalu mengguling-gulingkan tubuhnya sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Tas berlampu Del! Tante kembalikan! Kembalikan tas berlampu Del! Amak jahat…! Jahat…! Jahat! Tas berlampu…hu…hu…!”
Orang-orang yang lalu lalang di pasar hanya menolehkan wajah sebentar, lalu mereka memalingkan wajah dan terus berjalan. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Amak. Bibirnya bergemetar, seiring bulir-bulir bening halus berjatuhan di pipinya.
“Amak jahat…! Tante jahat…! Tas berlampu Del! Tas berlampu Del…!” Del meraung sekuat mungkin.

Blank Verse by Nofello (*)

Cross the Boarder

i have been walking out of the track this long
I found myself now wrong
Satisfaction is unfinished song
I love someone who the one belong

J.W.T.L.Y.K.T.I.R.M.Y.

I sent it last night to whom I really intent to...
WHat i gave is nothing out of the blue
envious is walking like the glue
i dont want to say still i love you

bisniswomen

Dari tepian malam yang kian kelam kelabu
dibawa angin asap yang tertinggal
kau dekapkan pori menembus angin
gaduh dalam dirimu murka amarah dan darah
dari rasa tertahan karena pinta
kau selamatkan dirimu terbelenggu nafsu
Dasar pejantan!

smile up

some like
some do not like
do I like some?
no like and dislike
just look alike

the last touch

antique
romance
in
fun &
anxiety of
hope
-
rolled
after
hard
moment
and
touch

you are far

I know you are now far
I believe thousands mistakes been done
but..
one hundred thousands question left have no answers


sunday before monday

Adakah engkau tahu apa yang kulakukan pada waktu ini..?
Pernahkah kau nanti akan pertanyakan kenapa aku begini?
Atau apa yang bisa kau lakukan untuk ini!
Kini kau harus tahu bahwa ini akhir pekan yang sangat ku benci!


entahlah

ku tahu aku disini membasuh rusuh ringkuh
ku tahu aku kini merindu peluh
ku tahu aku saat ini lusuh
ku tahu aku
ku tahu
AKU RAPUH
tapi,
entahlah
sudahlah
biarlah
aku hanya dengan jiwa ku berselingkuh
janganlah ego mu yang cemburu

bisa bisa kau ku
B.U.N.U.H
.

bukan bintang

Dia sudah bukan bintang lagi
tapi meteor yang menimpa bumi hati
kau lihat lah kesini dekat-dekat wahai teman-teman ku
lubang yang ditinggalkannya penuh permata
Kini dia bukan bintang tapi permata hati ku
bisa kah kalian membayangkan kilauan cintanya untuk ku

(*) Dosen Bahasa dan Sastra Inggris FIB-Adab IAIN Imam Bonjol Padang

Sajak-sajak Dedi Arsya (*)

Di Depan Akuarium

“sajak ini akan berhenti pada kata ‘bukan’. percayalah, aku tidak sedang berusaha untuk mengelabuimu, atau membuatmu terharu-biru. sajak ini akan terbaca apa adanya.”

“akuarium itu telah kosong, hujan sedang turun di padang lain. kau ke mana saja. kau tak melihat ikan-ikan terlempar dalam kepak sendiri. insang mereka hijau. di dalamnya aku menemukan kaca pembesar dari abad ke-20. sungguh aneh, bukan, diriku menantimu sesetia ini, sampai tercekik dan pasi.”

“jika sajak ini dimulai dari dirimu, ia akan berakhir saat kau mati. tapi adakah kau bisa mati. kau punya cinta yang jujur. kelak kau tak akan mati.”

“kepak ikan-ikan mas, gurami hitam, miniature gurita, entah terlempar di mana mereka. aku juga yakin mereka tak bisa mati. tapi sungguh asin lautan ini, sungguh asin kematian. kepak ikan-ikan itu menjadikannya hujan dan awan. dan kita menemukan matahari yang berbeda setiap hari. adakah ia berasal dari mata ikan-ikan di akuarium ini.”

“aku tak mengenali ruangan ini sebaik dirimu. selesai makan, diam-diam aku suka membasuh tanganku dengan air di akuraium itu. tapi sejak aku pindah ke rumah sebelah, kita tidak pernah lagi bertengkar tentang sarbet, atau tentang sajak.”

“rumah ini hanya akuarium 30 x 30. aku seekor puyu-puyu berwarna gelap. ikan mas koki membuat tuan rumah mengantuk.”

“aku tak mengenali langit 30 x 30 ini sebaik dirimu. tapi tidakkah lautan sebidang ini pantulan langit yang paling cerlang. seperti sajak ini, bukan.”


Cangkang Hijau Daun

“ke mana pergimu kelak jika mati. tentu bukan ke bulan. aku katakan saja, aku umang-umang hijau di pantai berpasir hitam. kau siapa, bisa siapa saja bukan. atau siapa lagi. tapi siapa bisa dengan lebih baik, dari tetangga kita ini, mengenali hijau rumput halaman sendiri.”

“jika kau sedang bercakap-cakap, aku akan diam saja. aku tahu percakapanmu telah disaring udara sejak awal. jika kau sedang mati, semut-semut merah hitam itu akan melubangimu seperti kumbang melubangi kayu. tapi aku akan menjagamu dengan lingkaran kapur sampai kau hidup lagi. aku hanya akan melihat tanpa tengadah pada langit yang menyimpan suaramu.”

“di hari terakhir dunia, aku sudah di luar cangkang ini. percayalah. aku ingin berhura-hura sambil telanjang, menertawakan cangkangmu yang warna-warni itu. aku akan mewarnai cangkangku hanya dengan hijau daun.”

“antara lautan dan langit, dua rumah paling terpencil, kita dipisahkan dua helai baju tidur dari beludru. kau kadang tidak bisa tidur hanya karena kita tidak punya kipas angin. tapi kini cangkangmu telah kuwarnai lain. kau pasti merasa nyaman sekali. dan jika langit merendah dan lautan menjadi pasang. dan dua helai baju tidur itu menjadi tak ada, masing-masing kita tentu sudah memakainya.”

“ke cangkang itu juga akhirnya kita tiada. seperti kelahiran.”

Kepala yang Gatal

“baiklah kita mulai sajak ini dengan bermain teka-teki. coba kau terka, jika kepala adalah lubang jarum, sebesar apakah kiranya benang. tentu telunjuk ibumu tak akan dilukai kepala, tetapi oleh tumit yang lancip, yang menembus batas kain, menyelam ke dasar mana saja.”

“tapi siapakah tangan yang menggerakkan engkau wahai kepala. tidakkah lubang jarum itu ibumu yang memberinya benang agar jarak bisa dipegang.

“seorang peramal akan memberitahumu banyak teka-teki. lebih dari sekedar pertanyaan konyol tentang kepala dan lubang jarum ini.”

“kecemasan terletak di masa depan. jika kau meninggalkanya di situ, kau akan jadi seorang peramal.”

“aku tak bisa mengobati sakit kepala siapa pun. jika kepala itu seperti lubang jarum. adakah mataku yang rabun mampu memasukkan benang ke dalammu.”


Kejadian Satu

“pendatang baru itu kura-kura, anjelo dan diego. kau membaca novel amerika latin seperti menonton telenovela. ikan puyupuyu dimakan kucing di saat kau ikut iring-iringan jenasah itu. ibumu tak akan pulang.”


Tuan Bapak

“2 jam sebelum berangkat, aku telah membereskan semua barang-barangmu. kau menelpon lama sekali, aku cemburu pada mabukmu yang belum usai. boneka tidak bermata kesayanganmu aku simpan di koper mana ya. mungkin masih di lemari depan, atau masih basah tergantung pada paku di balik pintu belakang.

“sambil menunggu hujan berhenti, bagamana kalau kau siapkan teka-teki untuk perjalananmu nanti, aku akan membuat kembang gula untukmu. memang aneh jika gula yang dijual di kota ini berwarna merah semua. kita terpaksa menyeberang ke plasa, membeli minyak tanah, menyalakan kompor untuk membuat gula itu menjadi bilah-bilah tebu kembali.”

“ayolah, gigimu masih kuat dan belum ompong seperti sekarang. tidakkah kau pernah menggantinya dengan tulang rusuk sapi. ah, itu hanya lelucon di meja makan. sesekali geserlah tanganmu ke arah tanganku untuk dapat rasa hangat dari sup kepala ikan gabus ini, dari gulai sirip hiu jantan ini, atau dari pecel merpati betina kesayanganmu itu.”

“aku sudah berjanji pada ibu, membungkuskan untuknya sebelah matamu. aku tahu ini tidak akan enak. tapi terpejamlah. sebentar lagi bis akan datang mengantarmu pulang.”

Tenggelam Diam-diam

“jika kau tenggelam dan mati dalam perjalanan nanti, apa yang akan dilakukan kekasihmu menjelang itu? aku mungkin bisa menuliskan suatu rencana yang biasa misalnya, memancing di akuarium rumah sendiri, mencuci karpet dengan sabun mandi, atau menjamur kasur di atas kompor.”

“kau boleh menceburkan dirimu ke danau itu. tapi aku katakan, aku tak menginginkan sesuatu pun menyumbul dari tenang air itu. itulah salahnya jika kita selalu menghindari arus deras, batu-batu di dasar yang kita pijak memantulkan ngilu ke pangkal gigi yang berlubang ini.”

“kapan ya kita bisa ke dokter gigi menghabiskan seluruh honor sajak ini hanya untuk sekali pemeriksaan. tidakkah lumut di batu-batu yang kita pijak itu memantulkan gamang tubuh kita seluruhnya. seperti rasa sakit di gigi.”

“tenggelam perlahan-lahan itu lebih bagus dari menonton televisi, atau memasukkah batu-batu kecil ke dalam saku piyama sehabis sembahyang, dan mimpikan mereka menjadi emas. meskipun sekarang bukan waktu yang tepat untuk tidur tapi kita telah melakukan perjalanan 15 jam dengan bis ekonomi, menyaksikan hutan kiri & kanan bagai selembar kain batik. dan aku menjadi tahu, kau tinggal di dusun yang mengajarkan anak-anak menghisap rokok yang telah diharamkan. bagaimana kalau kita mabuk ketika sedang mandi, atau tidur dengan mata terbuka, apakah itu juga diharamkan. atau: apakah maksudmu menulis sajak ini.”

“apakah kau pernah mengerti pertanyaan itu tidak cocok untuk cuaca seperti sekarang. kita terlibat macet hampir setengah hari. aku sedang sakit gigi. kau boleh mengerjakan sembahyang sepanjang hari untuk tahun berikutnya sekaligus. bisakah kita meminta tuhan bersabar seperti bisakah kita menimba hujan dari bak mandi untuk menjadi banjir di kota ini.”

“temanku menulis sajak tentang akar-akar pohon, kampung halaman penuh kenangan, dan terkadang kesunyian. aku katakan padanya, bisakah kau menulis sajak tentang cinta melebihi panjang sorban seorang padri. atau melebihi ayat-ayat yang dibaca dalam sembahyang.”

“aku hanya mengelabuimu pada baris terakhir sajak ini. sebab kau menelpon pacarmu terlalu lama, dan aku tak pernah tidur-tidur hanya untuk mencurigaimu. aku sudah pula membuat janji untuk hari sabtu depan. kita sulit menemukan bahagia di kota ini. apa sebaiknya kita pindah saja. mengunjungi danau biru dan hijau, atau berjaga-jaga dengan membawa akuarium ini ke mana-mana sambil merasakan diri tenggelam.”

Harimau Kumbang


untuk Romi Zarman

“aku harimau hilang belang, seperti kumbang. kau siapa ya. jawablah dengan ngaum yang panjang. boleh siapa saja, asal kau tak balik bertanya: aku siapa ya.”

“siapa yang menangis diam-diam di balik selimut itu, menjelang lampu padam, menjelang kau dengar suara azan. ayo ikut aku, di kota ini tak ada trem, atau kereta api listrik. kita naik ojek atau kereta-kuda saja. berfoto bersama di kota lama, menyewa ontel raksasa. buatlah kenangan sebanyak mungkin. hatimu terlalu lunak untuk dugaan seliar ini.”

“apa yang kau takutkan tidak pernah akan selesai, tapi bahagia suka datang terlambat, seperti polisi dalam film india. aku akan kuat sekuat harimau hilang belang, aku akan mengaum seperti ngiang kumbang terbang. ha ha ha.”

“tapi di tanganku terpegang benang, ke mana hendak kau terbang.”

“baiklah, kita bertukar umpama saja. sekarang, kau harimau hilang belang, aku akar hutan kenangan. kusembunyikan kau ke dalam silam.”

(*) Mahasiswa Jur. SKI Angkatan '08. Dikenal sebagai Esais, Cerpenis dan peminat sastra. Beberapa tulisannya telah dipublikasikan di Padang Ekspres, Haluan, Kompas dan Media Indonesia