Selasa, 24 Maret 2009

CERPEN : "TAS BERLAMPU"

Cerpen : Dewi Kulamasutra
(Mahasiswa BSI Fak. Adab IAIN Imam Bonjol Padang/telah dipublikasikan di Harian Umum PADANG EKSPRES, September 2008)


Pagi, setelah orang-orang balik dari surau. Amak melewati pematangan sawah. Penuh kehati-hatian Amak melangkah. Beban yang dibawa cukup berat. Satu karung bayam dijinjing di atas kepala. Kemaren Amak tersungkur. Kakinya terpuruk di tanah basah. Setelah berjalan sampai ke ujung, becak Pak Ci sudah menunggu di jalan. Amak menaruh beban di atas becak. Lalu Amak balik lagi melewati pematang, menjemput beberapa karung sayur yang masih tertinggal di pondoknya. Sedangkan Pak Ci tetap menunggu di jalan. Karung terakhir diangkat Amak. Kali ini ia tidak sendiri. Anak laki-lakinya berseragam merah putih mengiringi di belakang. Namanya Deri, karena susah menyebut huruf R waktu kecil, ia pun dipanggil Del.
Amak duduk dan Del berdiri sambil memegang pundak Amak di atas becak. Pak Ci mengayuh sepeda dengan santai. Burung-burung pagi berkicau. Berterbangan dimana-mana.
“Mak, burung-burung tuh kok cepat bangunnya Mak?” Tanya Del.
“Karena mereka juga sama seperti kita, Nak. Bangun pagi-pagi, mencari makan untuk hidup.”
“Untuk sekolah kau, Del!” Pak Ci menimpali.
Amak bersyukur, Del anak satu-satunya bisa diterima di SD negeri. Kalau sampai seperti Budi anak tetangganya yang PNS itu, lantaran tak diterima di SD negeri, ia pun disekolahkan di SD swasta. Tentulah biayanya mahal. Amak cukup tegar membesarkan Del. Susah ia mendapatkan anak. Akhirnya Tuhan mengkaruniakannya juga. Meski dua tahun setelah Del lahir, suaminya meninggal karena mengidap penyakit gula.
“Tit tit tit tit…!” Suara klakson mobil, bus kota, angkot, motor, meriuhkan suasana di pasar Mambo. Belum lagi suara kusir bendi yang sedang bercakap dengan kudanya, lonceng sepeda, becak, dan…”ting ting ting…!” Gerobak kacang padi pagi tak mau kalah dengan lainnya.
Pak Ci membantu Amak menurunkan beban, dan menjinjingnya hingga sampai ke tempat Amak biasa berjualan. Jika semua sudah selesai, Amak mencari buntelan tempat menyimpan uang dari dalam kain sarung yang ia pakai. Buntelan itu berwarna putih, tampak kusam, dan berpeniti di tengahnya.
“Nih, makasih Pak Ci!” Amak memberikan satu helai lima ribuan dan empat koin lima ratusan.
“Ya, sama-sama!” Pak Ci mengambil uang itu, dan ia pun berlalu. Amak mengeluarkan sayur-sayur dari dalam karung. Sayur-sayur itu juga dibelinya dari orang yang berladang. Ada bayam dan kangkung. Lalu Amak menyusun rapi, dan memercikkan sedikit demi sedikit air di atas tumpukan sayur yang sudah rapi.
“Del, nih belanja kau!” Amak memberi Del dua helai ribuan.
“Makasih Mak, Assalamu’alaikum!” Del memasukkan uang dalam saku bajunya dan menciumi tangan Amak.
“Waalaikumussalam! Hati-hati kau menyebrang jalan, dan kau jangan bandel di sekolah.”
“Ya, Mak!” Del langsung berlari.
“Heh…jangan lari, nanti kau jatuh!” Mak berharap suaranya sampai pada Del.
“Amak, Amak!” Del balik lagi ke tempat Amak.
“Hah, kenapa kau balik?”
“Tas Del putus, Mak!” Del tampak cemas.
“Kan, tadi Amak bilang jangan berlari. Tas kau nih sudah hampir putus. Amak belum punya uang belikan kau tas baru.” Amak mengambil peniti buntelannya lalu memasangkan peniti itu di Tas Del.
Del terdiam.
“Dah, hati-hati memakainya! Cepat nanti kau terlambat upacara!”
Sebetulnya tas yang dipakai Del, sudah layak untuk dimuseumkan. Waktu ia TK, tetangganya PNS Itu, memberikan tas yang tak terpakai lagi oleh anaknya pada Del. Ketika itu, tas itu masih kelihatan bagus. Tapi, sekarang jahitannya sudah banyak yang putus. Terpaksa Amak menjahitnya dengan tangan. Tahun ajaran baru tentu banyak murid-murid berpakaian serba baru. Mulai dari seragam, sepatu, tas, buku. Mungkin hanya Del yang tidak pakai tas baru, sepatu baru, dan seragam baru. Karena lagi-lagi Amak beli baju seragam di lowakan. Kecuali buku, Amak berusaha membelikan Del buku tulis dan buku pelajarannya. Karena Amak juga ingin Del bisa belajar di rumah dengan buku-bukunya itu. Di bawah tenda payung tempat Amak berjualan, Amak juga berharap suatu saat nanti Del terhitung dalam barisan anak-anak sukses. Yah! Hanya itu harapannya sebagai seorang ibu.
***
“Mak, tas berlampu Mak! Tas berlampu, tas berlampu!” Malam ini Del menggigau lagi.
“Del, Del! Bangun, Nak! Kenapa kau menggigau terus!”
“Amak, Del mau tas berlampu seperti Rio. Beliin Del, Mak! Beliin Del tas baru, tas yang berlampu, ya Mak! Tas yang berlampu.” Del merengek.
Amak menatap Del penuh hiba.
“Besok, kalau kau juara Amak belikan!”
“Yang berlampu, Mak?” Del memastikan.
“Iya, yang berlampu!”
Amak kini merasakan, banyak perubahan dari Del. Anaknya itu semakin hari semakin rajin saja belajar. Nilai latihan dan ulangan di sekolah pun bagus. Sepertinya Del benar-benar termotivasi dengan janji Amaknya, yang bakal membelikan Del tas berlampu kalau juara. Tidak hanya itu Del rela menahan seleranya, ketika es cendol berdiri di gerbang sekolah. Ketika hari panas, dan kerongkongan kering, ketika teman-temannya antri membeli es cendol, ia hanya bisa menelan ludah. Karena kata Amak kalau ia mau beli tas berlampu harus hemat uang. Dan disisihkannyalah setiap hari uang belanjanya.
Siang, ketika Del pulang sekolah. Ia bergegas ke tempat Amaknya.
“Mak, Amak!” Lihat orang yang sedang beli ikan tuh Mak!”
“Kenapa?” Amak melihat seorang ibu dengan anaknya sebaya Del.
“Anak tuh teman Del Mak! Namanya Rio. Amak lihat kan tasnya?” Itu tas berlampu, Mak!”
Lama Amak menatap tas Rio dari kejauahan. Tas itu tampak berlampu. Bercahaya dari kejauhan. Berwarna hitam bergambar mobil di depannya. Di sekeliling mobil dihiasi lampu-lampu. Cukup unik kelihatannya. Jarang anak sekolah tampak memakai tas seperti itu. Lalu Amak berpikir tentulah harganya mahal.
Tanpa disengaja Ibu dan Rio singgah ke tempat Amak membeli sayur.
“Eh, ini ibunya Del?” Ibu Rio bertanya.
“Iya, Amaknya!” Kata Amak.
“Del, pandai di sekolah ya, Bu! Aktif tunjuk tangan kalau disuruh Bu gurunya menulis ke depan. Hitung-hitungan dia juga pintar. Nih, si Rio! Udah di temani ke sekolah, masih malas belajar!”
Amak hanya bisa balas dengan senyum.
“Berapa Bu, bayamnya?”
“Seribu lima ratus.”
“Makasih ya, Bu.”
“Sama-sama. Eh, Ibu! Saya mau nanya. Del minta dibelikan tas berlampu seperti Rio. Ibu belinya dimana ya?”
“Oh tas nih! Pamannya Rio beli di Jakarta. Tapi disini ada kok orang jual. Tuh di dekat Ramayana, kalau nggak salah seminggu lalu saya main kesana. Harganya seratus sembilan puluh sembilan ribu. Wah sama aja ya Bu, dua ratus ribu!”
“Dua ratus ribu?”
“Iya, dua ratus ribu.”
“O ya, makasih ya, Bu!’
“Ya! Pergi dulu Bu!”
Amak terdiam. Untuk beli tas saja dua ratus ribu. Dimana dicari uang sebanyak itu. Penghasilan satu harinya cukup untuk satu hari pula. Tapi Amak bertekad tetap akan membelikan Del tas berlampu, meski sekali pun Del tak juara, tentu Amak tetap ingin menyenangkan hati anaknya. Amak mulai mengumpulkan uangnya sedini mungkin.
***
“Amak…! Del juara! Del berlari ke tempat Amak.
“Krak! Krak!” Jahitan Del putus.
“Juara? Kau juara, Nak?” Amak memeluk Del, dicium anaknya. Lalu ia lihat nilai rapor Del penuh rasa haru.
“Kau anak Amak yang paling hebat! Hmm, angka sembilan aja yang banyak!”
“Mak, tas Del Mak, putus! Amak janji beliin Del tas berlampu kalau juara.”
Amak menarik napas. Di buntelannya belum cukup uang untuk membeli tas.
“Ya, hari terakhir kau libur Amak belikan, ya?”
“Hore! Janji ya, Mak?”
“Iya!”
Besok Del sudah mulai sekolah lagi. Hari ini adalah hari liburannya terakhir.
“Alhamdulillah, cukup!” Amak bertekad hari ini akan membawa Del beli tas berlampu itu.
“Uni!” Mimi yang tiap hari berjualan terung di samping Amak, datang menghampiri Amak. Wajahnya sendu.
“Eh, Mi! Tumben kau nggak berjualan hari ini!”
“Si Tika sakit, Ni! Mi nggak punya uang bawa dia berobat. Bibirnya pucat panasnya tinggi. Saya bisa pinjam uang Uni Delapan puluh ribu, Ni? Sepuluh hari lagi Mimi ganti. Mi nggak tau mau pinjam sama siapa lagi Ni.”
Amak termenung. Terbayang wajah Del gembira mendapatkan tas berlampunya, disisi lain terbayang wajah Tika kecil berusia sepuluh bulan sedang lemas di kasur kecilnya. Bagaimana pun disaat sepi pembeli, Amak sering bermain dengan Tika. Tika kecil yang selalu bikin Amak tertawa. Tiap hari Mimi membawa Tika ke pasar. Akhirnya diputuskan juga, Amak rela meminjamkan uang pada Mimi.
Del berangkat sekolah dengan wajah murung. Amak sudah menjahit tasnya.
“Sepuluh hari lagi, ya Nak. Kita beli tas berlampunya. Pasti, pasti Amak belikan.”
Hari kesepuluh. Mimi belum kunjung berjualan. Amak sudah tak tahan melihat wajah murung Del. Tapi uang di buntelannya masih tidak cukup. Kemaren pengeluaran juga bertambah. Del harus beli buku pelajaran baru.
“Dua minggu lagi, Amak belikan ya, Nak! InsyaAllah uang Amak cukup. Del jangan khawatir, tas berlampu tuh, nggak bakal habis di toko.”
“Amak janji-janji terus!” Del menampakkan wajah masamnya.
“Iya, besok pasti! Pasti, Nak!”
“Benar? Amak nggak bohong lagi kan?
“Nggak! Pasi kata Amak!”
Del mulai tersenyum.
***
“Bayamnya tujuh ikat, berapa Bu?” Seorang wanita berusia tiga puluhan, berkaca mata reben, make up tebal, memakai rok jeans pendek dan berkaos merah, tiba-tiba datang membeli sayur Amak sebanyak tujuh ikat. Bagi Amak cukup banyak.
“Sepuluh ribu lima ratus, Bu!”
“Nih!” Dia mengeluarkan sehelai seratus ribuan.
“Wah, uangnya besar sekali nggak ada uang kecil Bu? Saya baru buka.”
“Duh, nggak ada Nih!”
“Sebentar ya , Bu! Saya tukar dulu.” Amak bergegas ke kedai-kedai yang baru buka.
“Hari masih pagi! Mana ada tukar uang besar!” Begitulah kata orang-orang di kedai.
Amak balik lagi ke tempatnya.
“Bu, kembaliannya uang receh dan ribuan, nggak apa-apa? Nggak ada tukar uang?”
“Ya, nggak apa-apa!”
Amak menghitung uang receh, koin lima ratusan dan ribuan yang sudah dihitung sepuluh ribu masing-masingnya.
“Nih, kembaliannya delapan puluh sembilan ribu lima ratus. Makasih, ya Bu.”
“Sama-sama!”
Ini adalah hari yang dijanjikan Amak. Uang dalam buntelannya sudah cukup untuk membeli tas berlampu. Sore, sesudah tutup jualan, Amak dan Del berjalan menuju toko. Del tampak sangat riang. Pegawai toko seperti was-was saja dengan kedatangan Amak dan Del. Entah karena penampilan mereka yang berbeda dari pengunjung lainnya.
“Mak tuh, tas berlampu!” Tas itu tampak tinggal satu.
“Cobalah pakai!” kata Amak.
“Bagus, Mak?” Del mencoba menyandangnya.
“Ya, bagus! Kau gagah memakainya!”
“Tas nih, berapa harganya?”
“Dua ratus ribu kurang seribu, Bu!” Pegawai itu mengantar Amak ke tempat pembayaran.
Amak mengeluarkan sehelai seratus ribuan, dan selebihnya uang ribuan.
“Nggak, nggak usah dibungkus, Tante! Del mau pakai langsung!” kata Del pada pegawai toko.
“O ya, nih!”
Amak lega janjinya pada Del sudah terbayar,. Del pun tampak sangat gembira. Baru beberapa langkah mereka keluar dari toko…
“Ibu…! Ibu…!” Terdengar suara pegawai toko. Dia mengejar Amak.
“Kenapa?”
“Maaf, Ibu! Uang seratus ribu Ibu ini palsu!” Sambil memperlihatkan uang itu.
“Palsu?” Amak terperangah.
“Iya, Bu! Palsu!”
“Ta..tapi, saya nggak punya uang lagi!”
“Kalau begitu, kembalikan saja tasnya! Kalau udah punya uang, Ibu kesini lagi!”
“Del, buka tasnya Nak!” Amak meminta dengan suara lemah.
“Nggak, nggak mau!” Del mengelak-elakan tubuhnya dari tangan Amak.
“Besok kita beli!”
“Del, nggak mau! Nggak mau Mak! Ini tas berlampu Del!”
Amak memaksa Del. Tas itu pun terlepas dari sandangan Del. Pegawai itu membawa tas berlampu ke tokonya.
“Hu…a…, Amak jahat! Amak jahat!” Del duduk di tretoar. Lalu mengguling-gulingkan tubuhnya sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Tas berlampu Del! Tante kembalikan! Kembalikan tas berlampu Del! Amak jahat…! Jahat…! Jahat! Tas berlampu…hu…hu…!”
Orang-orang yang lalu lalang di pasar hanya menolehkan wajah sebentar, lalu mereka memalingkan wajah dan terus berjalan. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Amak. Bibirnya bergemetar, seiring bulir-bulir bening halus berjatuhan di pipinya.
“Amak jahat…! Tante jahat…! Tas berlampu Del! Tas berlampu Del…!” Del meraung sekuat mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar