Selasa, 31 Maret 2009

Dengan Sebelah Sayap Terpanggang

Deddy Arsya, mahasiswa jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Angkatan 2006, lahir Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 15 Desember 1987. Pernah memenangkan Sayembara Penulisan Puisi DKSB 2005 dan di tahun yang sama menjadi finalis Lomba Menulis Cerpen HAM yang diadakan Kedutaan Besar Swiss bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena. Tulisannya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di beberapa media, seperti Padang Ekspres, Singgalang, dan Haluan. Puisinya masuk dalam buku antologi puisi Dewan Kesenian Sumatra Barat Dua Episode Pacar Merah (2005). Di unggunan rinduku aku bakar pula sebelah sayapku dan berpikir untuk tidak terbang (dengan sebelah sayap terpanggang aku kira tak akan jauh sampai aku ke rumahmu).

berkehendak akanmu, semakin larut saja malam terasa
kuingat wajahmu dengan rindu yang dekil dan sedikit sesal

Aku tahu benar tak bisa apa-apa selain menanti
bercakap hari kemarin
dan waktu yang tak pernah bisa dijagal

di unggunan rinduku
Aku tak cukup ingatan mereka-reka jalan bagi penantian
Sebab sangsi, sebab sangsai, jenuhku melaju,
berapa lama kita berdaya begini
Cukup di penghabisan lelah yang kuragukan—aku masih ingin di sini
Bersamamu, barangkali kan bersitegang rindu sendiri
—dengan sebelah sayap terpanggang

Ilalangsenja, 2006

Deddy Arsya
sarkofagus

(satu)
menggali makam berdua
kusiapkan tubuh
dan pergi menjadi puisi
dan kau membacakannya
dengan suara setengah takut

orang-orang bertukar redup di jalan-jalan
siapa menenggelamkan gelap kian malam
aku duduk menunggumu
masih sendiri dan gagu
ajaklah aku keluar satu; menujunya

di tahun-tahun licin
musim-musim tergelincir
lagu penyair terdengar ganjil
seperti riwayat hilang timbul dalam lupa
catatan kabur
gelap hari berguruh berkilat

menggali makam berdua
kusiapkan tubuh
dan pergi menjadi puisi
biar gaduh suara-suara
aku telah sedia luluh
ini hidup padamu bawalah kemana
dan nanti tak bersua lagi
aku tahun-tahun getir tergelincir
dan usia yang bergerak rapuh
tanah berpijak menjadi lagu riang
ketika pulang
dan terang mendiamimu selalu

(dua)
waktuku, aku ingin sendirian
dan berharap sejuk maut
mengusap lembut di dadaku cepat
jika lama, dekap aku
gagap cintaku, cemas-latah usiaku
di liang nyata mimpi kita
terimalah aku seperti sedia kala

jalan ke rumahmu masih ditimbun angin?
(hidup akan lama, katamu)
dekap mati aku sekuatmu
sampai mati lemas was-was dalam diri

(di mana ujung puisi)

(tiga)
menggali makam berdua
kusiapkan tubuh dan pergi menjadi puisi

(Mahasiswa Jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar