Selasa, 24 Maret 2009

Esai Sastra Deddy Arsya

Iwan Fals, Hijau, dan 50:50
Di sini aku sendiri. Datanglah
Bukit yang dingin, bukit yang sepi
Tak akan membuatmu tersiksa

Iwan Fals bernyanyi di tahun 1992. Suaranya tak seberat sekarang. Suara itu, seperti seorang ibu dari dusun yang jauh dan sepi, suara seorang ibu dalam Mushasi-nya Eiji Yoshikawa, yang berteriak-teriak, "Pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di dusun!". Ketika itu, Takezo, si Mushasi muda, hendak meninggalkan dusunnya, demi perang, demi cita-cita menjadi Samurai, dan melakukakn sesuatu yang bakal mengesankan sang ayah yang juga seorang samurai. Ia yang sangat ingin membuktikan diri sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati, bukan hanya sebagai perisau dusun.

Iwan Fals bernyanyi di tahun 1992, dengan suara yang-tentu saja-tak merdu. Dan album Hijau dirilis. Tapi tak ditanggapi meriah. Album itu terbilang tak laku. Hijau. Entah kenapa, mungkin mengambil salah-satu judul lagu dalam album itu. Atau Hijau merupakan sesuatu yang terancam, yang dicemaskan keberadaan dan kelangsungannya.

Tahun-tahun itu, pembangunan pesat di satu sisi, industri maju dan semarak, kota-kota mekar dan gemerlap. Tapi kehancuran terus mengejar dan mengancam di lain pihak. Kita mengingat kawasan-kawasan industri yang lahir, galangan kapal, pabrik pesawat terbang, satelit palapa yang mengorbit ke angkasa, dan lainnya. Sekaligus kita tak bisa melupakan hutan yang habis, langit yang bocor, laut yang tercemar. Dan kita, (yang telah menjadi) si orangkota, yang juga bisa berarti manusia industri, diminta kembali. Tapi bisakah, sementara kata kembali adalah kata yang mengandung kalah dan gagal.

Barangkali sebuah masyarakat yang dibentuk oleh rezim yang menumpuk-numpuk kekayaan dan menghitung-hitungnya, selalu tak pernah mau menanam, selalu menyepelekan kearifan macam apa pun yang hendak diperoleh dari sebuah rangkaian usaha mencipta., dan selalu ingin memetik. Di sana, hasil hari ini menjadi segala-galanya. Ada yang lupa untuk dipikirkan ulang. Bahwa hukum kausalitas ada dan mutlak terjadi. Bahwa apa yang diperbuat hari ini, baik-buruknya, adalah tanggungan manusia yang akan datang. Ia tak cukup lepas hanya untuk hari ini, hari ketika itu.

Dan usaha menjadi masyarakat industri, juga usaha menjadi manusia yang serba otomatis-praktis, tetap digandrungi. Sebab kota-kota terus memoles diri, dengan plasa, dengan mall. Dan televisi yang telah sampai ke dusun-dusun yang sunyi dan dingin menawarkan sesuatu. Sesuatu yang dulu hanya dibawa dan tersebar lewat cerita para perantau di kedai-kedai kopi ketika waktu lebaran tiba. Gambaran yang menakjubkan sehingga membentuk janji, harapan, peruntungan, dan sebagainya.

Dan kini, Iwan Fals berbicara lagi tentang ‘yang hijau'. Sebuah album bertajuk 50:50 dirilis tahun ini. Tapi tidak terasa lagi kesunyian yang menggetar itu. Iwan kehilangan daya bercerita, juga daya gugah seorang penyampai seperti dalam album Hijau yang dirilis belasan tahun yang lalu itu. Mungkin suasananya berbeda. Ada yang terasa hambar dan melelahkan untuk disimak dalam duabelas lagu di album ini. Entah kenapa. Mungkin Iwan putus-asa. Mungkin kita yang lelah.

Namun perambah hutan tidak pernah lelah. Harimau ditembak, karena si raja rimba itu mengganggu manusia. Karena ia kehilangan mangsa. Kenapa? Apa karena kita suka berburu babi? Mungkin benar. Tapi babi punya regenerasi yang mudah, gampang beranak-pinak, sekali melahirkan bisa banyak anak. Kenyataannya, walaupun sudah banyak kelompok-kelompok buru babi, hama babi tetap merajalela. Sedangkan regenerasi harimau terbilang sulit. Apalagi harimau Sumatera. Lantas kenapa? Di lain daerah di Sumatara, gajah menyerang penduduk, masuk perkampungan, memporak-porandakan rumah dan ladang. Habitatnya mulai terancam dan terus terdesak.

Sementara itu hutan terus juga ditebang, banjir bagai terjadwal di kalender. Dan bumi yang bocor hingga ke perutnya, menyemburkan lumpur panas yang tak mampu disumbat. Kota-kota terus merembes masuk ke daerah-daerah serapan air, bersolek dengan plasa-plasa baru dan mall, dengan beragam industri baru, cerobong-cerobong pabrik dan racun-tuba yang diarahkan ke langit tinggi.

Jika Tan Malaka dalam Madilog bersikeras bahwa hanya dengan industri kita bisa maju, mengingat Indonesia kaya dengan barang tambang, maka Iwan Fals lewat kumpulan lagu berlabel 50:50-setidak-tidaknya dari label itu-menawarkan keseimbangan, jalan tengah antara boros dan kikir, antara malas menggali dan rakus. Antara memajukan industri dan tetap menjaga kelangsungan alamraya. Jika alam terkembang jadikan guru. Maka membunuh guru adalah kejahatan paling tak terampuni.

Puncak kemajuan sebuah peradaban pada akhirnya adalah suatu kesadaran untuk kembali, ke akar-akar, ke mata air yang memancarkan kejernihan dan kesejukan. Ke tempat asal manusia yang kodrati: Alamraya. Suatu saat ada masanya, kesadaran tumbuh, bahwa alamraya, dengan segenap rahasia dan kearifannya, begitu menakjubkan kita. Kita akan merindukannya. Kelak. Entah kepan. Mungkin ketika kita telah kehilangannya begitu banyak. Bukankah kehilangan yang membuat sesuatu menjadi berarti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar