Selasa, 24 Maret 2009

Sajak-sajak Dedi Arsya (*)

Di Depan Akuarium

“sajak ini akan berhenti pada kata ‘bukan’. percayalah, aku tidak sedang berusaha untuk mengelabuimu, atau membuatmu terharu-biru. sajak ini akan terbaca apa adanya.”

“akuarium itu telah kosong, hujan sedang turun di padang lain. kau ke mana saja. kau tak melihat ikan-ikan terlempar dalam kepak sendiri. insang mereka hijau. di dalamnya aku menemukan kaca pembesar dari abad ke-20. sungguh aneh, bukan, diriku menantimu sesetia ini, sampai tercekik dan pasi.”

“jika sajak ini dimulai dari dirimu, ia akan berakhir saat kau mati. tapi adakah kau bisa mati. kau punya cinta yang jujur. kelak kau tak akan mati.”

“kepak ikan-ikan mas, gurami hitam, miniature gurita, entah terlempar di mana mereka. aku juga yakin mereka tak bisa mati. tapi sungguh asin lautan ini, sungguh asin kematian. kepak ikan-ikan itu menjadikannya hujan dan awan. dan kita menemukan matahari yang berbeda setiap hari. adakah ia berasal dari mata ikan-ikan di akuarium ini.”

“aku tak mengenali ruangan ini sebaik dirimu. selesai makan, diam-diam aku suka membasuh tanganku dengan air di akuraium itu. tapi sejak aku pindah ke rumah sebelah, kita tidak pernah lagi bertengkar tentang sarbet, atau tentang sajak.”

“rumah ini hanya akuarium 30 x 30. aku seekor puyu-puyu berwarna gelap. ikan mas koki membuat tuan rumah mengantuk.”

“aku tak mengenali langit 30 x 30 ini sebaik dirimu. tapi tidakkah lautan sebidang ini pantulan langit yang paling cerlang. seperti sajak ini, bukan.”


Cangkang Hijau Daun

“ke mana pergimu kelak jika mati. tentu bukan ke bulan. aku katakan saja, aku umang-umang hijau di pantai berpasir hitam. kau siapa, bisa siapa saja bukan. atau siapa lagi. tapi siapa bisa dengan lebih baik, dari tetangga kita ini, mengenali hijau rumput halaman sendiri.”

“jika kau sedang bercakap-cakap, aku akan diam saja. aku tahu percakapanmu telah disaring udara sejak awal. jika kau sedang mati, semut-semut merah hitam itu akan melubangimu seperti kumbang melubangi kayu. tapi aku akan menjagamu dengan lingkaran kapur sampai kau hidup lagi. aku hanya akan melihat tanpa tengadah pada langit yang menyimpan suaramu.”

“di hari terakhir dunia, aku sudah di luar cangkang ini. percayalah. aku ingin berhura-hura sambil telanjang, menertawakan cangkangmu yang warna-warni itu. aku akan mewarnai cangkangku hanya dengan hijau daun.”

“antara lautan dan langit, dua rumah paling terpencil, kita dipisahkan dua helai baju tidur dari beludru. kau kadang tidak bisa tidur hanya karena kita tidak punya kipas angin. tapi kini cangkangmu telah kuwarnai lain. kau pasti merasa nyaman sekali. dan jika langit merendah dan lautan menjadi pasang. dan dua helai baju tidur itu menjadi tak ada, masing-masing kita tentu sudah memakainya.”

“ke cangkang itu juga akhirnya kita tiada. seperti kelahiran.”

Kepala yang Gatal

“baiklah kita mulai sajak ini dengan bermain teka-teki. coba kau terka, jika kepala adalah lubang jarum, sebesar apakah kiranya benang. tentu telunjuk ibumu tak akan dilukai kepala, tetapi oleh tumit yang lancip, yang menembus batas kain, menyelam ke dasar mana saja.”

“tapi siapakah tangan yang menggerakkan engkau wahai kepala. tidakkah lubang jarum itu ibumu yang memberinya benang agar jarak bisa dipegang.

“seorang peramal akan memberitahumu banyak teka-teki. lebih dari sekedar pertanyaan konyol tentang kepala dan lubang jarum ini.”

“kecemasan terletak di masa depan. jika kau meninggalkanya di situ, kau akan jadi seorang peramal.”

“aku tak bisa mengobati sakit kepala siapa pun. jika kepala itu seperti lubang jarum. adakah mataku yang rabun mampu memasukkan benang ke dalammu.”


Kejadian Satu

“pendatang baru itu kura-kura, anjelo dan diego. kau membaca novel amerika latin seperti menonton telenovela. ikan puyupuyu dimakan kucing di saat kau ikut iring-iringan jenasah itu. ibumu tak akan pulang.”


Tuan Bapak

“2 jam sebelum berangkat, aku telah membereskan semua barang-barangmu. kau menelpon lama sekali, aku cemburu pada mabukmu yang belum usai. boneka tidak bermata kesayanganmu aku simpan di koper mana ya. mungkin masih di lemari depan, atau masih basah tergantung pada paku di balik pintu belakang.

“sambil menunggu hujan berhenti, bagamana kalau kau siapkan teka-teki untuk perjalananmu nanti, aku akan membuat kembang gula untukmu. memang aneh jika gula yang dijual di kota ini berwarna merah semua. kita terpaksa menyeberang ke plasa, membeli minyak tanah, menyalakan kompor untuk membuat gula itu menjadi bilah-bilah tebu kembali.”

“ayolah, gigimu masih kuat dan belum ompong seperti sekarang. tidakkah kau pernah menggantinya dengan tulang rusuk sapi. ah, itu hanya lelucon di meja makan. sesekali geserlah tanganmu ke arah tanganku untuk dapat rasa hangat dari sup kepala ikan gabus ini, dari gulai sirip hiu jantan ini, atau dari pecel merpati betina kesayanganmu itu.”

“aku sudah berjanji pada ibu, membungkuskan untuknya sebelah matamu. aku tahu ini tidak akan enak. tapi terpejamlah. sebentar lagi bis akan datang mengantarmu pulang.”

Tenggelam Diam-diam

“jika kau tenggelam dan mati dalam perjalanan nanti, apa yang akan dilakukan kekasihmu menjelang itu? aku mungkin bisa menuliskan suatu rencana yang biasa misalnya, memancing di akuarium rumah sendiri, mencuci karpet dengan sabun mandi, atau menjamur kasur di atas kompor.”

“kau boleh menceburkan dirimu ke danau itu. tapi aku katakan, aku tak menginginkan sesuatu pun menyumbul dari tenang air itu. itulah salahnya jika kita selalu menghindari arus deras, batu-batu di dasar yang kita pijak memantulkan ngilu ke pangkal gigi yang berlubang ini.”

“kapan ya kita bisa ke dokter gigi menghabiskan seluruh honor sajak ini hanya untuk sekali pemeriksaan. tidakkah lumut di batu-batu yang kita pijak itu memantulkan gamang tubuh kita seluruhnya. seperti rasa sakit di gigi.”

“tenggelam perlahan-lahan itu lebih bagus dari menonton televisi, atau memasukkah batu-batu kecil ke dalam saku piyama sehabis sembahyang, dan mimpikan mereka menjadi emas. meskipun sekarang bukan waktu yang tepat untuk tidur tapi kita telah melakukan perjalanan 15 jam dengan bis ekonomi, menyaksikan hutan kiri & kanan bagai selembar kain batik. dan aku menjadi tahu, kau tinggal di dusun yang mengajarkan anak-anak menghisap rokok yang telah diharamkan. bagaimana kalau kita mabuk ketika sedang mandi, atau tidur dengan mata terbuka, apakah itu juga diharamkan. atau: apakah maksudmu menulis sajak ini.”

“apakah kau pernah mengerti pertanyaan itu tidak cocok untuk cuaca seperti sekarang. kita terlibat macet hampir setengah hari. aku sedang sakit gigi. kau boleh mengerjakan sembahyang sepanjang hari untuk tahun berikutnya sekaligus. bisakah kita meminta tuhan bersabar seperti bisakah kita menimba hujan dari bak mandi untuk menjadi banjir di kota ini.”

“temanku menulis sajak tentang akar-akar pohon, kampung halaman penuh kenangan, dan terkadang kesunyian. aku katakan padanya, bisakah kau menulis sajak tentang cinta melebihi panjang sorban seorang padri. atau melebihi ayat-ayat yang dibaca dalam sembahyang.”

“aku hanya mengelabuimu pada baris terakhir sajak ini. sebab kau menelpon pacarmu terlalu lama, dan aku tak pernah tidur-tidur hanya untuk mencurigaimu. aku sudah pula membuat janji untuk hari sabtu depan. kita sulit menemukan bahagia di kota ini. apa sebaiknya kita pindah saja. mengunjungi danau biru dan hijau, atau berjaga-jaga dengan membawa akuarium ini ke mana-mana sambil merasakan diri tenggelam.”

Harimau Kumbang


untuk Romi Zarman

“aku harimau hilang belang, seperti kumbang. kau siapa ya. jawablah dengan ngaum yang panjang. boleh siapa saja, asal kau tak balik bertanya: aku siapa ya.”

“siapa yang menangis diam-diam di balik selimut itu, menjelang lampu padam, menjelang kau dengar suara azan. ayo ikut aku, di kota ini tak ada trem, atau kereta api listrik. kita naik ojek atau kereta-kuda saja. berfoto bersama di kota lama, menyewa ontel raksasa. buatlah kenangan sebanyak mungkin. hatimu terlalu lunak untuk dugaan seliar ini.”

“apa yang kau takutkan tidak pernah akan selesai, tapi bahagia suka datang terlambat, seperti polisi dalam film india. aku akan kuat sekuat harimau hilang belang, aku akan mengaum seperti ngiang kumbang terbang. ha ha ha.”

“tapi di tanganku terpegang benang, ke mana hendak kau terbang.”

“baiklah, kita bertukar umpama saja. sekarang, kau harimau hilang belang, aku akar hutan kenangan. kusembunyikan kau ke dalam silam.”

(*) Mahasiswa Jur. SKI Angkatan '08. Dikenal sebagai Esais, Cerpenis dan peminat sastra. Beberapa tulisannya telah dipublikasikan di Padang Ekspres, Haluan, Kompas dan Media Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar